Akhir-akhir ini jika mengaitkan antara santri dan politik mesti keluar kalimat skeptis seperti politik identitas, suara politik dikuasai kyai, dan sebagainya. Sempat saya melihat karikatur yang menggambarkan hal ini, di mana seseorang mencium tangan kyai sepuh sambil bertanya "2024 pilih siapa ya, kyai?" Suatu ironi dalam dalam penyelenggaraan demokrasi sekaligus penistaan terhadap unsur-unsur pesantren.
Sudah diketahui bahwa salah satu cara mendapatkan banyak suara adalah dengan menarik suara politik tokoh otoritas. Dalam konteks masyarakat islam tradisional (yang dominan) , tokoh otoritas adalah kyai. Meskipun langkah-langkah yang diambil memang seringkali terlihat menjengkelkan. Tiba-tiba berkunjung ke pesantren, tiba-tiba ziarah ke makam tokoh, tiba-tiba dekat dengan kyai, tiba-tiba bersikap religius, dan banyak tiba-tiba lainnya. Semua itu dilakukan guna menarik suara tokoh otoritas, sedangkan ribuan suara yang ada di belakangnya hanya di-objektifikasi sebagai hasil statistik.
Kira-kira sejak tahun 2015, golongan santri mulai banyak diakui dan diangkat citranya oleh pemerintah pusat. Perbuatan hebat dan mulia, tapi sayang sekali jika hal hebat ini ternyata dimaksudkan sebagai investasi politik yang akan dipanen pada tahun-tahun tertentu. Bahasa kasarnya memberi makan egoisme golongan demi kepentingan politik praktis. Tentu kita tidak mau itu terjadi, tetapi pada tahun 2019 cawapres yang diusung kala itu terbukti berhasil menjadi "umpan yang baik", walaupun dalam pelaksanaan pemerintahan justru mendapat porsi yang sangat sedikit. (Atau malah tidak dapat sama sekali? Siapa tahu?)
Santri itu golongan akademik
Praktik semacam ini sebenarnya juga mencederai pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional. Sebagai lembaga pendidikan, aktor yang berperan di dalamnya seharusnya merupakan golongan akademik. Terlihat dalam sejarah ada berapa banyak tokoh besar yang punya latar belakang pesantren. Pesantren secara konsep identik dengan forum musyawarah, berpendapat dan beradu argumen dengan sumber-sumber yang kredibel, kegiatan yang terus relevan dalam lingkungan akademik hingga saat ini. Namun kenapa golongan santri sekarang begitu marak di-objektifikasi hanya sebagai suara statistik?
Sederhananya karena pendidikan politik sangat jarang disinggung dalam kegiatan pengajaran di pesantren. Apa yang diajarkan biasanya hanya berkutat pada perkara pendidikan salaf, di antaranya Aqidah, Tauhid, Fiqih, Tafsir Quran, ilmu Hadits, Akhlaq, Nahwu dan Shorof. Selain itu juga ada konsep "barokah" yang tak jarang malah mengerdilkan keilmuan di pesantren itu sendiri. Dengan adanya konsep barokah ini, kedekatan dengan kyai dan guru dinilai lebih penting daripada bersikap analitis dan kritis terhadap keilmuan pesantren. Untungnya masih banyak pondok pesantren yang menyelaraskan antara konsep barokah dengan keilmuan, misalnya Pondok Pesantren Lirboyo yang terkenal dengan jargon "mempeng ngaji"-nya Kyai Abdul Karim.
Kyai dominan
Kyai memang punya peran yang dominan dalam penyelenggaraan pesantren. Kyai merupakan wajah sekaligus penentu ciri khas dari pesantren yang diasuhnya, misalnya Pesantren Tebuireng yang terkenal keilmuan Hadits-nya karena Kyai Hasyim Asyari merupakan ulama ahli Hadits, Pesantren Lirboyo terkenal akan Nahwu-Shorofnya karena Kyai Abdul Karim ahli di bidang Ilmu Alat.
Pergantian pengasuh juga berdampak pada keberlangsungan pesantren. Seperti Pesantren Krapyak Yogyakarta, saat diasuh oleh Kyai Munawwir Krapyak identik dengan Ilmu Al-Qur'an, namun ketika berganti kepemimpinan oleh Kyai Ali Maksum pengajaran di Pesantren Krapyak lebih komprehensif karena melibatkan pendidikan kitab-kitab kuning (Turats). Dari sini harus diakui bahwa tindakan kyai mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pendidikan santri, tidak hanya sebagai fasilitator atau pendamping belajar saja, namun juga sebagai penentu arah keilmuan santri.
Peran kyai memang begitu dominan hingga wajar saja jika loyalitas santri terhadapnya begitu besar. Tetapi apakah artinya santri hanya bisa pasrah terhadap pandangan politik kyai? Tentu tidak. Keterbukaan informasi di era ini mendukung para santri untuk belajar secara otodidak hal-hal yang tidak diajarkan di pesantren, termasuk pengetahuan politik. Ditambah lagi saat ini sudah banyak kyai yang menawarkan kebebasan intelektual kepada santrinya untuk berpandangan dan berpendapat berbeda, selama tidak menyalahi syariat Islam.
Reformasi Pesantren
Reformasi Pesantren sebenarnya sempat jadi bahasan hangat beberapa tahun lalu. Topik ini terkait dengan adaptasi sistem pesantren di era digital, dimana santri secara inisiatif mencari dan mengelola informasi baru yang nantinya dapat diolah menjadi hal yang bermanfaat dan kreatif. Praktisnya sudah ada beberapa produk yang saya ketahui di antaranya website pesantren, pertanian minim lahan, industri pangan kreatif, dan pemanfaatan limbah pesantren. Adapun dalam hal keilmuan biasanya mencetak buku yang memuat hasil forum musyawarah, ada juga yang mengembangkan metode baru yang diklaim lebih praktis dalam memahami Nahwu dan Shorof, metode tersebut dirumuskan dalam bentuk buku.
Hanya saja sampai sekarang masih jarang golongan santri yang bersuara tentang politik, padahal sudah banyak tanda-tanda pihak yang mengobjektifikasi santri untuk kepentingan tertentu. Kalaupun ada biasanya hanya tanggapan afirmatif terhadap tokoh yang berkunjung ke pesantren-pesantren, tanpa ada kritik atau masukan yang berarti dengan dalih adab sopan santun menerima tamu. Sangat disayangkan mengingat santri terutama kyai memiliki andil besar dalam pelaksanaan politik nantinya. Padahal santri seharusnya juga bisa disetarakan dengan mahasiswa, tanggung jawab akademik dalam hal pengabdian terhadap masyarakat juga kurang lebih sama, tetapi dalam perkara politik santri relatif bungkam. Saya harap pandangan santri terhadap politik kedepannya tidak hanya berhenti di saung dan cangkir-cangkir kopi, tapi dapat disuarakan ke publik melalui media sosial atau bahkan media massa arus utama. (faqih)
Posting Komentar