“Kamu bisa menyembunyikan kenangan, tapi kamu tidak bisa menghapus sejarah yang menghasilkannya”
― Haruki Murakami, Tsukuru Tazaki Tak Berwarna dan Tahun Ziarahnya
Murakami menjadi salah satu penulis kontemporer Jepang yang paling tematik dalam menghasilkan karya-karyanya. Ia selalu berhasil menghipnotis pembacanya dengan cerita yang unik dan menarik serta adiktif. Setiap lembar buku Murakami menciptakan suasana adiktif yang seakan-akan mengurung pembaca untuk menyelesaikan karyanya dalam sekali duduk.
“Tsukuru Tazaki Tak Berwarna dan Tahun Ziarahnya” adalah salah satu karya Murakami yang mengangkat tema yang cukup emosional. Tsukuru si tokoh utama bergulat dengan kenangan dan masa lalunya, sebuah perjuangan untuk keluar dari depresi yang begitu dalam akibat trauma masa lalu.
Dari novel ini ada sebuah konsep menarik tentang bagaimana sebuah kenangan atau yang dalam tulisan ini lebih banyak disebut ingatan begitu berpengaruh pada kehidupan seseorang. Tsukuru Tazaki tumbuh dewasa dengan berbagai kenangan yang selalu menghantuinya, trauma masa lalunya begitu dalam saat tiba-tiba harus berpisah dengan teman-teman yang sudah ia anggap lebih dari keluarga. Kenangan buruk ini membuat Tsukuru menjadi pribadi yang tertutup dan menguburkan segala hal yang berhubungan dengan masa lalunya. Yang menarik di sini adalah bahwa sekeras apapun Tsukuru berusaha menguburkan masa lalunya, hal ini tidak berpengaruh pada kenangan yang tersimpan dalam ingatan Tsukuru.
Dalam konteks sejarah apa yang berusaha disampaikan Murakami melalui tokoh Tsukuru masuk pada kajian Memory Studies. Dimana sebuah hegemoni besar tentu dengan mudah menghilangkan sejarah yang tidak mereka inginkan, tetapi pada dasarnya selalu gagal dalam menghilangkan ingatan kolektif tentang peristiwa itu sendiri. Ingatan kolektif peristiwa sejarah tidak berhenti pada seorang pelaku sejarah itu sendiri, melainkan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainya.
Ingatan ini memang tidak menjamin membawakan sebuah informasi sejarah yang utuh, namun seperti halnya kerja sejarawan, ingatan-ingatan ini menjadi residu-residu sejarah yang dikumpulkan untuk merekonstruksi narasi sejarah yang sering kali tetap terpinggirkan.
Ingatan sebagai sumber alternatif penyintas kekerasan anti kiri
“Seperti kata Tolstoy. Kebahagiaan adalah sebuah alegori, ketidakbahagiaan adalah sebuah cerita”
Kutipan ini berasal dari salah satu karya Murakami. Hal yang cukup menarik dari kutipan ini adalah sumber dari sebuah ingatan kolektif banyak berasal dari ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan, dimana pada umumnya orang lebih mudah mengingat tentang rasa sakit.
Hal ini juga termasuk pada konteks sejarah kekerasan tahun 65, dimana rezim otoriter Orde Baru dengan berbagai proyek strategisnya dalam upaya penghilangan narasi-narasi kekerasan pada akhirnya gagal dalam menghapus ingatan para penyintas. Intervensi negara melalui rasa takut akan selalu kalah dengan ingatan para penyintas akan kekerasan yang mereka alami, peristiwa tidak menyenangkan ini terus membekas dan lekat di belakang tempurung mereka.
Kajian Memory Studies menjadi salah satu alternatif dari kebuntuan sejarah dalam menyikapi sejarah pasca 65 yang sering kali menitik beratkan pada narasi heroisme rezim orde baru dan kroni-kroninya. Sejarah nasional seringkali kesulitan untuk menghalau narasi yang sangat berat sebelah pada konteks kekerasan anti kiri tahun 1965. Rezim Orde Baru selalu di glorifikasi sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan Indonesia dengan cara melakukan kejahatan kamanusiaan secara massal. Kajian sejarah kritis dan Memory Studies menjadi pembanding narasi nasional sebagai lawan yang sepadan. Meskipun tidak berangkat dari banyak arsip, karena tentu arsip tentang kekerasan anti kiri 1965 tidak memiliki banyak arsip, ingatan kolektif menjadi salah satu sumber primer yang cukup bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Meskipun menjadi salah satu alternatif dari apa yang disebut dengan Historical Impasse (kebuntuan sejarah). Metode ini sering kali mendapatkan kritik tajam karena berangkat dari ingatan individu yang bisa jadi menjadi sangat subjektif. Sejarah personal menjadi tumpuan utama untuk melawan kultur ingatan kekerasan anti komunis yang dibangun oleh proyek rezim Orde Baru. Dwyer dan Santikarna mengatakan bahwa ingatan tentang kekerasan sangat kontekstual, oleh karenanya ingatan-ingatan tersebut tidak dapat dilihat sebagai ‘gudang penyimpanan yang homogen dari pemahaman yang sama tentang masa lalu’.
Ingatan yang bertahan sampai generasi ketiga
Kritik pedas oleh Dwyer dan Santikarna bukan berarti metode kajian Memory Studies tidak bisa digunakan sebagai sumber sejarah. Grace Leksana dan Arif Subekti melalui penelitiannya yang berjudul “Remembering through fragmented narratives: Third Generations and the intergenerational memory of the 1965 anti leftist violence in Indonesia” menggunakan kritik Dwyer dan Santikarna untuk melihat proses ingatan antar generasi dalam keluarga korban.
Penelitian ini menjelaskan bagaimana ingatan muncul dari narasi yang terfragmentasi melalui pengalaman generasi ketiga. Penelitian ini menggunakan studi kasus pada tiga keluarga yang berbeda dimana generasi pertama dari masing-masing keluarga ini memiliki latar belakang yang berbeda akan tetapi menjadi korban kekerasan anti kiri 1965 karena aktivitas mereka berhubungan dengan PKI dan isu-isu Agraria. Dalam penelitian ini generasi ketiga memiliki cara sendiri untuk memakna ingatan akan sejarah keluarga yang berhubungan dengan kekerasan anti kiri. ketiga keluarga berangkat dari keresahan yang hampir sama yaitu bungkamnya generasi kedua akan isu-isu kekerasan anti kiri.
Diamnya generasi kedua dalam penelitian ini bukan tanpa sebab. Karena ingatan mereka akan peristiwa 65 yang menimpa generasi pertama menjadi sebuah tanggung jawab yang begitu berat—sebuah persimpangan antara hidup dan mati. Diam adalah cara bagi generasi kedua untuk tetap menjaga kewarasannya dibawah berbagai tekanan di bawah rezim orde baru. Dalam penelitian ini ingatan pertama datang dari seorang seniman kelahiran 1976 asal Yogyakarta yang memiliki kakek dari pihak ayah yang merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Hal menarik dari kisah keluarga pertama adalah perjumpaan sang seniman dengan ingatan tentang sang kakek berawal dari informasi yang selalu bersilang saat tradisi nyekar. Informasi tentang makam generasi pertama (kakek dari pihak ayah) selalu tidak dijawab dengan jelas. Teka-teki ini selalu mengganggu sang seniman sampai pada puncak pada tahun 1998 saat rezim otoriter Orde Baru jatuh generasi kedua menceritakan rahasia keluarga yang selama ini tidak pernah mereka katakan pada sang seniman. Dari pertemuan ini narasi akan ingatan yang dialami generasi kedua di transfer ke generasi ke 3 dan ingatan ini dijaga oleh sang seniman. ingatan bahwa generasi pertama keluarga mereka adalah korban dari penghilangan dan kekerasan anti kiri. dan generasi kedua mengalami sendiri huru-hara pasca 65.
Ingatan kedua dan ketiga berasal dari seorang musisi dan seorang psikolog. tidak berbeda dengan sang seniman awal perjumpaan generasi ketiga dengan ingatan generasi pertama terjadi karena sebuah teka-teki. Pola ini menjadi menarik kalau kita perhatikan lebih jauh bahwa sikap bungkam adalah ciri bahwa generasi kedua memiliki tanggung jawab yang begitu dalam akan ingatan generasi pertama. hal ini menjadi masuk akal karena baik sang musisi maupun sang psikolog adalah keturunan dari orang yang cukup penting. informasi bahwa generasi satu dari sang musisi adalah anggota partai dan generasi satu dari sang psikolog adalah seorang peneliti agraria tentu menjadi tanggung jawab yang begitu besar bagi generasi kedua.
Tulisan ini tidak akan mengulas habis isi dari bagian paling penting dalam penggunaan metode Memory Studies pada penelitian Grace Leksana dan Arif Subekti karena hal itu akan mengurangi esensi dari karya itu sendiri jika tidak dibaca secara langsung. Penulis menyarankan untuk membaca penelitian“Remembering through fragmented narratives: Third Generations and the intergenerational memory of the 1965 anti leftist violence in Indonesia” secara langsung agar bisa memahami bagaimana ingatan bisa menjadi narasi tandingan untuk sejarah yang sudah becongkol begitu lama.
Pada akhirnya tulisan ini hanya bisa menuliskan kesimpulan singkat bagaimana kisah dari ketiga keluarga ini selalu berkutat pada kebisuaan yang menujukkan bahwa trauma itu sangat dalam sehingga begitu menyakitkan untuk diingat, tetapi juga begitu sulit untuk dilupakan. (Ian Muhtarom)
Terima kasih untuk Grace Leksana dan Arif Subekti atas tulisan yang begitu menarik berkenaan dengan Memory Studies
Posting Komentar