Seorang remaja yang dilahirkan di lingkungan masyarakat petani. Dibesarkan di lingkungan petani, terbiasa bermain dan mengenal kehidupan dari sawah ladang pertanian. Namun ketika dia ingin memperdalam pengetahuan tentang kehidupan yang dia kenal sejak kecil, tanggapan negatif mulai bermunculan.
"Disekolahin
tinggi-tinggi kok cuma biar jadi petani."
Begitu kira-kira
omongan tetangga ketika ia pulang belajar. Ini bukan peristiwa yang diada-ada,
melainkan kenyataan yang saya dengar langsung dari yang bersangkutan. Fenomena
yang secara keras menunjukkan bahwa profesi dan profesionalitas petani masih
dianggap rendahan, bahkan oleh masyarakat petani itu sendiri.
Tentunya sangat
disayangkan mengingat kedudukan sektor pertanian yang merupakan sektor ekonomi
primer, karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup dasar. Ambil contoh
sekarang orang kita sangat ketergantungan pada nasi. Jika produksi beras kian
menurun akibat profesi petani makin dikesampingkan, kita makan nasi dari mana?
Impor? Ya kali buat makan saja harus disuapi negara lain (walaupun sekarang pun
begitu).
Krisis petani
mungkin cuma jadi isu hanya lewat bagi orang yang membaca atau mendengar
sekilas. Tidak salah jika dibilang, "petani dan lahan pertanian masih luas
banget!" Atau "angka produksi masih stabil dari tahun ke tahun."
Ketidakmampuan Indonesia menjadi negara swasembada pangan adalah bukti lemahnya
sektor pertanian.
Satu lagi yang tak
kalah konkret, coba lihat para petani yang aktif berladang. Apakah kebanyakan
mereka orang golongan usia produktif? Atau justru lansia? Jangan-jangan pekerja
tani kebanyakan adalah orang-orang yang tersingkir dari persaingan dunia kerja
yang birokratis dan bengis, dengan kata lain petani hanyalah opsi terakhir
belaka. Siapa tahu?
Padahal jika saja
sektor pertanian digarap dan ditata dengan seksama oleh orang-orang yang ahli
dibidangnya, akan menjadi profesi yang menjanjikan. Tapi seperti yang
disebutkan di awal, anak muda yang ingin belajar tentang ilmu-ilmu pertanian
saja masih mendapat reaksi negatif, bagaimana sektor pertanian ini akan
berkembang pesat? Hal ini memang lah kenyataan yang kurang mengenakkan, tapi
tetap penting untuk dibahas, utamanya berkaitan dengan problematika kompleks
masyarakat petani sebagai pelaku utama pertanian.
Tidak Sepadan
Banyak orangtua
yang tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Praktisnya karena pekerjaan
petani itu berat sedangkan penghasilan yang didapat tidak sebanding dengan
usaha yang dilakukan. Petani juga butuh modal besar untuk mendapat hasil panen
yang memadai. Subsidi? Perannya cuma seperti koyo bagi orang sakit gigi,
dibutuhkan tapi tidak bisa dibilang cukup.
Yang paling sering
dikeluhkan adalah kebutuhan pupuk. Petani beli pupuk sudah seperti beli
sembako, sudah jadi pengeluaran rutin, itu pun tidak murah. Bayangkan saja
keuangan rumah tangga yang harusnya bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan pokok,
malah harus dipotong separuhnya atau bahkan lebih untuk beli pupuk. Orang tua
seringkali harus menghemat habis-habisan uang mereka sehingga kebutuhan gizi
anak yang dikorbankan. Berpegang pada kalimat "besok bisa makan saja sudah
syukur".
Penyelewengan bantuan
Memang ada banyak
jenis program bantuan untuk petani, terlepas dilaksanakan atau tidaknya.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, bantuan atau subsidi memang tidak bisa
dijadikan penyokong utama pertanian, tapi tetap diperlukan untuk meringankan
beban petani. Pertanyaan klise yang harus dipertanyakan seterusnya adalah
apakah bantuan itu terlaksana dan tersampaikan sepenuhnya?
Interaksi atau
setidaknya bantuan dari pemerintah daerah kepada petani mau tidak mau harus
melalui pejabat desa, dari zaman baheula sudah seperti itu. Namun bagi kita
yang telah lama tinggal di desa mesti tahu bahwa kursi-kursi di desa sangat
rawan KKN, terutama desa-desa yang punya kekayaan sumber daya alam unggul dan
bisa dieksploitasi. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Mau
bukti? Coba saja ingat-ingat perbaikan dan program apa saja yang dilakukan
pejabat desamu! Lalu pertimbangkan lagi, apakah itu sudah sesuai dengan pemasukan
dana desa dari pemerintah pusat?
Tekanan Standar Sosial
Belum lagi makin ke
sini standar sosial makin tinggi. Motor, televisi, handphone, paket data, hingga busana tertentu sudah naik kasta jadi
kebutuhan pokok. Kita tentu tidak bisa mengesampingkan kebutuhan akan
informasi, hiburan, transportasi yang memadai, atau sekadar kebanggaan
personal. Tak terkecuali petani.
Lingkungan
masyarakat petani juga punya gaya hidupnya sendiri. Sudah wajar jika masyarakat
pedesaan mengikuti tren global. Mulai dari busana populer, teknologi populer,
hiburan populer, atau bahkan tren tidak penting yang populer. Hal-hal semacam
ini menambah beban pengeluaran juga tentunya.
Kita bisa saja
dengan mudah mengatakan agar mereka berhemat, tapi kenyataanya tidak
sesederhana itu. Tiap orang punya kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, terutama lingkungan dengan ikatan sosial yang tinggi seperti
masyarakat pedesaan. Jadi standar sosial misalnya yang berkedok "omongan
tetangga" tidak bisa diabaikan begitu saja.
Prioritas masyarakat
Masih berkaitan
dengan standar sosial, yaitu pandangan masyarakat dalam menilai suatu
pekerjaan. Bukan rahasia lagi bahwa orang-orang tua desa cenderung melihat
profesi yang berseragam sebagai pekerjaan ideal dan berstatus tinggi.
Sebaliknya anak muda yang bekerja sebagai petani dengan pakaian seadanya dan
berlumur lumpur akan dianggap sebagai anak bodoh yang gagal dalam pendidikan dan
dunia kerja. Bahkan jika si orang tua punya sawah luas, ia tidak ragu
memotongnya beberapa hektar agar anaknya bisa jadi dokter, angkatan, atau
setidaknya pegawai kantoran.
Saya tidak
bermaksud mendiskriminasi pekerjaan, hanya ingin menyajikan realita yang
terlihat oleh beberapa orang saja. Saya kenal beberapa anak muda yang awalnya
berkeinginan menjadi petani. Tapi karena beberapa pertimbangan, termasuk
keinginan orang tua, mereka berganti mengejar pekerjaan yang dianggap
"lebih tinggi" derajatnya.
Wajar saja orang
tua petani melarang anaknya mengambil jalan yang sama, karena mereka telah
mengalami sulitnya menjadi petani. Pendapatan utama mereka hanya bergantung
pada hasil panen yang setahun tidak sampai lima kali. Belum lagi resiko gagal
panen, hama parasit, harga turun, dan lain sebagainya. Selain itu mereka juga
harus menyisihkan pendapatan hasil panen untuk persiapan tanam selanjutnya.
Daripada itu, menjadi PNS dengan gaji bulanan dan tunjangan pensiun terdengar
jauh lebih baik dan mapan. Sepertinya memang benar bahwa menjadi petani
hanyalah opsi terakhir bagi generasi muda saat ini.
Pendidikan diskriminatif
Sejak kecil kita
selalu ditanya tentang cita-cita. Pertanyaan yang bahkan sulit dijawab oleh
orang dewasa sekalipun, dilontarkan berkali-kali pada anak kecil yang baru
menikmati masa-masa bermain. Sebagai anak kecil yang sewajarnya belum
memikirkan masa depan, kita cenderung memilih jawaban yang ditawarkan oleh guru
atau sekadar ikut-ikutan teman. Jawaban paling umum sebut saja guru, dokter, tentara,
polisi, dan sebagainya yang umumnya berkaitan dengan seragam dan pangkat.
Dengan begitu kita diarahkan untuk berpikir bahwa profesi yang demikian adalah
standar profesi yang layak untuk dikejar. Di sisi lain pekerjaan kasar seperti
petani, tukang bangunan, atau tukang sampah dicontohkan sebagai orang yang
gagal dalam meraih cita-cita.
Yang jadi
pertimbangan utama barangkali adalah tingkat kemapanan ekonomi. Memang benar
bahwa saat ini pekerjaan kasar memiliki pendapatan yang relatif lebih rendah
dibandingkan kategori pertama tadi. Namun jika alasan ini masih dipakai oleh
pendidik sampai sekarang, itu adalah pembodohan.
Seorang pendidik
tidak harus mengatakan, "belajarlah yang giat biar tidak jadi seperti
mereka!"
Lebih baik
mengatakan, "belajarlah yang giat biar bisa menyejahterakan orang-orang
seperti mereka!"
Biar bagaimanapun
harus diakui bahwa diskriminasi dalam pendidikan adalah hal tercela. Pendidikan
yang dimaksud tidak hanya dalam ruang sekolah, tetapi juga keluarga sebagai
pendidik utama, serta masyarakat sebagai laboratorium sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Upaya dalam membenahi pendidikan harus disadari dan diusahakan
bersama.
Kesimpulan
Permasalahan
menyangkut krisis petani merupakan masalah yang sangat kompleks jika dilihat
dari sudut pandang sosial masyarakat. Untuk itu pembenahan tidak bisa
diusahakan oleh satu pihak saja. Kita perlu melibatkan generasi muda, orang
tua, pemerintah, pendidik, dan masyarakat pada umumnya untuk mengupayakan agar
masalah ini dapat diatasi. Masyarakat petani dapat hidup sejahtera, regenerasi
berjalan lancar, dan kebutuhan pangan kita semua terpenuhi tanpa memaksakan
produktivitas yang menyiksa petani. (Gulma Li)
Posting Komentar