Heroisme Bandit: Kepahlawanan Marginal Gaya Kriminal




Mempertanyakan kepahlawanan

Menurutmu pahlawan itu apa? Mungkin di kepalamu terbayang sosok gagah perkasa yang diberkahi kemuliaan untuk memberantas kejahatan serta membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Atau mungkin langsung teringat tokoh-tokoh pahlawan nasional, atau malah terbayang wajah kedua orang tua. Bagi saya sendiri tidak ada definisi yang pasti tentang apa itu pahlawan.


Tetapi jika mau adil (secara prosedural) kita bisa meninjau definisi resmi. Menurut KBBI pahlawan adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero”. Wow, setelah membaca ini jari saya langsung gatal ingin berkomentar. Kata “yang menonjol” menunjukkan arti eksklusivitas ketokohan, padahal dalam narasi kepahlawanan sering diucapkan frasa “pahlawan tak dikenal”. Bukannya kontradiksi? Orang yang menonjol tapi tak dikenal, hah?


Satu lagi tentang “membela kebenaran” yang terdengar mulia tapi abstrak. Di zaman keterbukaan informasi seperti ini kita sudah terbiasa dengan dengan pemahaman inter-perspektif. Sebagian dari kita mungkin sudah meyakini bahwa kebanyakan perang bukanlah tentang kebenaran melawan kejahatan, tapi kebenaran versi A melawan kebenaran versi B. Pada akhirnya seperti yang dikatakan Penelope Douglas, “peran penjahat hanya ditentukan oleh siapa yang bercerita”.


Walaupun sebenarnya mengartikan pahlawan tidak harus dengan dikotomi perlawanan, asalkan berkaitan dengan pengorbanan untuk kebenaran. Dengan begitu cakupannya akan meluas, seperti ibu yang berpayah-payah mengandung dan melahirkan anak, bapak yang kerja banting tulang demi keluarga, atau teman yang meminjami seratus ketika temannya membutuhkan. Jika benar demikian, kata “pahlawan” dan “kepahlawanan” kehilangan nilai eksklusifnya, tidak lagi terikat pada batas-batas elitis dan kemuliaan-kemuliaan utopis.


Kepahlawanan wong cilik dalam sejarah

Ujung-ujungnya kepahlawanan hanyalah tentang apa yang diceritakan kepada generasi setelahnya, hal ini jelas mengunggulkan peran penulis sejarah. Ada kalimat populer yang berbunyi “sejarah ditulis oleh pemenang”, sebenarnya kurang tepat, apalagi kalimat itu terdengar seperti orang yang menolak informasi masa lampau secara serampangan. Yang lebih tepat adalah sejarah ditulis oleh orang yang tidak malas mencari informasi-informasi masa lalu dan mengabadikannya agar terus diingat oleh generasi-generasi setelahnya.


Sayangnya cerita kepahlawanan yang sering digaungkan biasanya bersifat eksklusif, hanya berkutat pada tokoh-tokoh tertentu saja. Padahal peran masyarakat umum terutama masyarakat kelas bawah juga menjadi bagian dari penggerak revolusi. Salah satu karya populer terkait hal ini yaitu buku “Pemberontakan Petani Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, mengungkapkan perlawanan kaum tani terhadap pengaruh Belanda serta sistem penjajahan yang diberlakukan. Selain itu juga ada buku “Jawa: Bandit-bandit Pedesaan 1850-1942” karya Suhartono W Pranoto, menyebut bahwa perbanditan merupakan salah satu bentuk heroisme berupa counter action terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Berdasarkan dua contoh ini bisa dikatakan bahwa perjuangan kepahlawanan bisa juga dilakukan oleh masyarakat kelas bawah, termasuk petani bahkan kriminal sekalipun.


Kepahlawanan Gaya Kriminal

Sekilas terdengar aneh, pahlawan tapi kriminal. Agar lebih mudah dipahami, Suhartono juga E. J. Hobsbawm (sejarawan Inggris, peneliti perbanditan sosial terdahulu) mengasosiasikan konsep heroisme perbanditan dengan kisah Robin Hood, melakukan tindakan “tidak terpuji” kemudian membagikannya pada orang miskin. Suhartono berpendapat bahwa kegiatan perbanditan makin marak terjadi setelah diberlakukannya praktek tanam paksa. Kegiatan perbanditan menjelma sebagai upaya resistensi masyarakat kelas bawah terhadap eksploitasi pemerintah untuk merebut kembali hak mereka, dengan melakukan tindakan destruktif dan kriminal seperti pencurian, pembakaran, perampokan, bahkan pembunuhan. Perlu dipahami bahwa tindakan “kasar” yang dilakukan merupakan cerminan dari budaya pedesaan dan resistensi tradisional.


Secara gamblang dapat dilihat bahwa argumen ini memiliki banyak celah. Misalnya Bambang Purwanto (UGM) dalam salah satu makalahnya mengkritik bahwa Suhartono menerapkan “petik ceri” dalam penelitiannya. Benar bahwa bandit kala itu adalah musuh pemerintah kolonial, namun pencurian atau perampokan bisa menargetkan siapa saja, tidak hanya mereka yang berhubungan dengan kekuasaan. Bahkan ada juga perampok yang bekerja pada pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa heroisme perbanditan yang dibawakan Suhartono terjebak dalam dikotomi penjajah-terjajah, sehingga menutupi objektifitas masa lalu.


Kritik tersebut memang benar, namun jika kita lihat lebih teliti Suhartono telah menyebutkan batasan tegas terkait sampel penelitiannya. Pertama, ia mendefinisikan bandit sebagai pihak oposisi yang dianggap kriminal oleh pemerintah, jadi “orang-orang kasar” yang bekerja pada pemerintah tidak termasuk. Kedua, ia juga membedakan perbanditan menjadi bandit biasa (ordinary bandit) dan bandit sosial (social bandit). Bandit biasa melakukan kejahatan tanpa melihat latar belakang apapun sedangkan bandit sosial melakukan perbuatannya dilatarbelakangi kepentingan sosial hingga politik. Adapun Suhartono secara spesifik membahas perbanditan sosial dalam penelitiannya. Menjadi masalah ketika ia menulis “Bandit-Bandit Pedesaan” seolah membahas perbanditan secara keseluruhan, padahal ruang kajiannya hanya berfokus pada perbanditan sosial.

 

Perbanditan sosial

Pemaknaan Suhartono terhadap perbanditan sosial mengacu pada Hobsbawm yang menyebut bahwa perbanditan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang marginal dari masyarakat petani, serta dianggap kriminal oleh pemerintah. Perbanditan sosial tercipta dari relasi antara bandit dan petani, mereka bersama-sama mengoreksi ketidakadilan, mengawasi represi dan eksploitasi, serta memperjuangkan emansipasi dan kemerdekaan.


Bandit tidak begitu saja membangun hubungan baik dengan petani. Dalam cerita-cerita kuno bandit masih dianggap sebagai pelaku kriminal yang meresahkan masyarakat, jadi secara umum awalnya petani dan bandit tidak memiliki hubungan yang baik. Kendati demikian mereka masih hidup dalam lingkungan sosial-ekonomi yang sama. Lantas ketika pengaruh kapitalis datang mengganggu ruang hidup mereka bersama, relasi perbanditan sosial mulai terbentuk. Perbanditan sosial datang sebagai mekanisme protes dengan melakukan kegiatan yang merugikan pihak tertentu (pemerintah kolonial).


Untuk membedakan dengan bandit biasa, bandit sosial memiliki ciri khas yaitu: 1) loyal terhadap komunitas, 2) mencerminkan nilai moral dan ideologi komunitas, 3) perbuatan yang ganas dalam menargetkan musuh komunitas, 4) dan tindakannya dibantu oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan keterkaitan erat antara bandit dengan komunitas desa, yaitu dalam usahanya melawan musuh yang sama. Perbanditan juga bisa dikatakan sebagai gerakan politis yang digerakkan secara kolektif, walaupun masih bersifat lokal, belum nasional.


Perbanditan sosial bergerak secara rahasia melalui gerakan bawah tanah, serta menjalin koneksi dengan kelompok lain melalui kesempatan bersama. Pedesaan juga punya semacam dunia bawah tanah, Suhartono menyebutnya alam peteng. Dunia yang berada di luar jangkauan istana, punya sistem kerja dan kepemimpinan sendiri. Dunia bawah tanah pedesaan identik dengan pengguna kesaktian dan kekuatan magis.


Dunia bawah pedesaan tercipta karena kuatnya hierarki pada budaya Jawa. Dikotomi kawula-gusti memisahkan kehidupan istana dengan luar istana. Jika istana identik dengan budaya adi luhung, kehidupan luar istana bersifat polos dan kasar, serta lebih populis.


Karena tidak terikat dengan unggah-ungguh istana, ideologi bandit sosial lebih sekuler, riil dan ekonomis. Walaupun dalam pelaksanaannya masih memerlukan aspek messianisme sebagai penggerak massa, tujuan yang ingin diraih bersifat konkret dan praktis. Tekanan beban kerja, waktu kerja membengkak, kurangnya pendapatan, hingga penyempitan lahan menjadi alasan mereka untuk melawan agar setidaknya mendapat kehidupan yang lebih baik. Tindakan perlawanan mereka yang keras, kejam, brutal, dan destruktif merupakan cerminan dari jahatnya eksploitasi pemerintah kolonial terhadap masyarakat pedesaan.


Contoh kasus

Suhartono dalam bukunya mencontohkan kasus perbanditan, masing-masing di tiga wilayah di Jawa. Banten dan Batavia di barat, Yogyakarta dan Surakarta di tengah, serta Pasuruan dan Probolinggo di timur. Tulisan ini akan memuat secara singkat satu kasus di masing-masing wilayah.


1) Di barat ada Kerusuhan Anti Tuan Tanah Partikelir di Tangerang 1924 yang dipimpin oleh Kaiin Bapa kayah. Sejak zaman kompeni daerah Tangerang sudah didominasi oleh tanah partikelir yang disewa oleh orang Cina bermodal. Bahkan penguasaan orang Cina terhadap tanah tiga kali lebih besar daripada orang Tangerang sendiri. Minimnya hasil panen petani setempat menimbulkan ketimpangan sosial yang nyata. Belum lagi ada kewajiban membayar sewa tanah dan kompenian yang sangat membebani petani setempat. Mereka yang kekurangan terpaksa berhutang ke tuan tanah dengan bunga yang besar.


Pada tanggal 9 atau 10 Februari 1924 Kaiin Bapa Kayah menyelenggarakan pesta dalam rangka khitan anak tirinya. Dalam pesta itu dia mengajak pengikutnya untuk mengusir orang-orang Cina, serta menuntut penghapusan cuke dan uang kompenian. Setelah itu mereka mulai menangkapi orang-orang Cina satu persatu dan dipaksa pulang ke negaranya. Aparat negara dikerahkan hingga kemudian terjadi baku hantam. Disebutkan 19 orang meninggal dan 21 luka-luka, kerusuhan ini akhirnya dapat diredam.


2) Di Jawa bagian tengah didominasi oleh Kecu, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Kecu adalah perampokan pada malam hari secara berkelompok sekitar lima orang, menargetkan perkebunan, para pemodal, dan kepala setempat. Ada semacam pertanda jika terjadi paceklik atau gagal panen, kecu akan masif bermunculan. Dilihat-lihat masih dalam pola yang sama, resistensi bandit muncul disebabkan tekanan yang diderita oleh golongan kelas bawah, dalam hal ini petani. Saking maraknya perkecuan di Yogyakarta ada surat kabar tersendiri yang khusus mewartakan peristiwa kecu, yakni “koran kecu”.


Resistensi kecu punya dampak yang cukup besar bagi pemerintah. Pada tahun 1860 residen memerintahkan agar setiap jalan masuk desa ditutup pada malam hari dan dilaksanakan ronda malam. Tak hanya itu, pemerintah juga menyebarkan ketjoe serkuler, yaitu edaran yang berisi bahaya kecu dan cara menanggulanginya. Tapi ternyata cara itu tidak terbukti efektif dalam mengatasi masalah kecu. Langkah pemerintah selanjutnya adalah dengan memperkuat persenjataan polisi, namun tetap saja gagal.


Tindakan kecu yang paling meresahkan adalah pembakaran perkebunan. Bentuk kejengkelan petani yang dirugikan dengan dilaksanakannya sistem perkebunan saat itu. Pembakaran ini marak terjadi pada tahun 1860 dan terus meningkat frekuensinya hingga tahun 1885.


3) Terakhir di Jawa Timur sempat marak terjadi Pencurian hewan ternak di Pasuruan dan Probolinggo. Pasuruan dan Probolinggo adalah dua dari beberapa afdeeling yang memproduksi tebu terbanyak. Kerbau dan sapi yang sudah banyak diternak saat itu mulai dimanfaatkan untuk menarik cikar atau gerobak tebu, sebelum adanya transportasi perkebunan yang memadai. Tentunya fenomena ini menguntungkan pemilik ternak yang bisa menyewakan ternaknya tiap masa panen. Berbeda dengan petani biasa yang hanya mengandalkan tenaganya sendiri di tengah kerasnya sistem tanam paksa.


Memaknai pencurian ternak, Suhartono punya pandangannya sendiri. Sebelum dibangun sarana transportasi perkebunan, pengangkutan tebu sangat bergantung pada tenaga hewan. Mengurangi tenaga pengangkut tebu berarti sama saja dengan menyabotase arus produksi perkebunan kolonial. Di sisi lain ternak yang dijual di jagal gelap nantinya akan membangkitkan ekonomi lokal, seperti kerajinan kulit. Pencurian ternak di Pasuruan tercatat pada tahun 1909 sebanyak 1.382 ekor, angka itu terus menurun hingga tahun 1924 hanya 63 ekor. Hal ini terjadi karena perluasan sarana transportasi perkebunan ke desa, serta suara ketidakpuasan petani yang mulai banyak disalurkan lewat organisasi politik.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama