Salah Kaprah Menang-Kalah dalam Demokrasi




Sungguh miris melihat Indonesia saat ini diramaikan dengan narasi menang-kalah pemilu. Pemilu hanyalah instrumen demokrasi, wadah bagi rakyat untuk memilih. Lalu apa yang dimenangkan dan dikalahkan?

Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dengan sudut pandang rakyat (yang memilih), melainkan hanya bisa dijawab dengan sudut pandang elit (yang mendapat). Padahal dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pelaku utama politik, bukan cuma objek yang diperebutkan. Dalam hal ini orang yang melanggengkan narasi menang-kalah pemilu menganggap suara rakyat tak lebih dari kerupuk yang digantung tiap agustusan. Sedangkan para calon pejabat berebut banyak-banyakan makan kerupuk. Begitulah logika mereka kira-kira.

Pada awalnya tidak ada salahnya menarasikan menang-kalah dalam pemilu, toh itu hanyalah kata lain dari terpilih dan tidak terpilih. Namun dikotomi menang-kalah ini lama-lama mempengaruhi alam bawah sadar publik, menyeleweng dari nilai demokrasi yang sesungguhnya. Publik lebih disibukkan dengan persaingan dan permusuhan, yang merasa menang mengejek yang merasa kalah menentang.

Menang-kalah sekilas punya kesamaan arti dengan terpilih dan tidak terpilih, hanya saja punya perbedaan mendasar dalam memahami subjek. Terpilih dan tidak terpilih menempatkan rakyat sebagai pelaku utama demokrasi, sedangkan menang-kalah menyiratkan peran utama elit yang berkontestasi. Secara halus penggunaan menang-kalah mempengaruhi kesadaran publik. Mengerdilkan posisi rakyat yang memegang kedaulatan sejati, pelaku utama demokrasi.

Apakah ini buruk? Tentu saja. Pengerdilan suara rakyat secara halus mematikan demokrasi. Yang lebih parah banyak dari mereka ikutan meneriakkan menang-kalah, secara tidak sadar menginjak-injak kedaulatannya sendiri. Akhirnya “suara” kita tidak lagi berfungsi selayaknya suara, kata orang-orang kemarin “suara kita cuma dihitung, tidak didengar”.

Kemarin juga sempat ramai narasi “matinya demokrasi”, namun kali ini saya kurang setuju. Demokrasi tidak akan mati hanya karena terpilihnya seseorang. Demokrasi adalah jiwa rakyat, tumbuh dan tumbangnya bersama suara-suara rakyat. Tapi jika rakyat secara sukarela merendahkan suaranya sendiri ya enggak ada tumbuh-tumbuhnya. Di sini saya berani bilang: selama pemahaman menang-kalah pemilu masih digaungkan, demokrasi akan tetap mati suri.

Lagi diperparah dengan model politik tokoh. Hubungan antara yang memilih dengan yang dipilih seolah menjadi hubungan antara penggemar dan idola. Hal ini juga dapat dilihat dari banyaknya kata “pendukung” daripada “pemilih” dalam percakapan sosial tentang pemilu. Hal ini sekali lagi menguatkan pandangan bahwa para kontestan memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding rakyat.

Sayangnya masalah ini tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang, seolah cuma melihat pemilu sebagai kontes hiburan semata. Bahkan tak jarang orang memperlihatkan kebiasaan negatif ketika menikmati pertandingan. Terlihat dalam fenomena saat ini, mentalitas judi bola atau judi tinju dibawa-bawa ke pemilu. Meneriakkan jagoan dalam pertandingan, kalau menang dia senang. Paling nampak kemarin banyak yang teriak “all in”. Mentalitas judi is real.

Sebagai pemilih pemula di tahun 2024, saya tahu pengamalan demokrasi di Indonesia masih kurang, tapi tidak saya sangka seburuk ini. Sebagai orang yang masih aktif mengenyam pendidikan, nilai-nilai demokrasi yang kerap diajarkan masih saya ingat jelas. Kita seharusnya tidak menyepelekan teori, karena teori adalah pedoman untuk menjalankan praktik. Kalau kata Zainal Arifin Mochtar, teori itu ada supaya praktik tidak melenceng jauh dari yang seharusnya.

Sekali lagi saya tegaskan, demokrasi tidak akan mati hanya karena terpilihnya seseorang. Demokrasi tidak berhenti pada proses pemilihan saja, demokrasi sesungguhnya adalah ketika rakyat bersama-sama mengawal penyelenggaraan negara. Cara terbaik menghargai suara adalah dengan menggunakannya. Jika kau ingin menegakkan demokrasi maka lakukanlah sekarang dan untuk selamanya. (Faqih)

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama