Pramoedya dalam Prahara Kebudayaan dan Kajian Kesusastraan Indonesia


Pramoedya pernah hampir mengakhiri karir kepenulisannya karena himpitan ideologi kiri, padahal Pram adalah seorang independen tanpa terikat partai politik dan golongan tertentu. Namun, di tahun-tahun berikutnya ia menjadi tokoh yang kerap kali bersinggungan dengan elemen kebudayaan yang menentang keras paham kiri.

Dikenal sebagai tokoh sastra terkemuka dengan pandangan sosial politik, kisahnya layak ditelusuri sebagai upaya memahami prahara budaya yang terjadi di tahun 1950-1965. Secara ringkas, pemikiran Pram berpengaruh besar terhadap arah kebudayaan dan proses perjalanan sejarah kebudayaan Indonesia.

Pramoedya dikenal sebagai seorang sastrawan besar, menghabiskan sekitar 20 tahun di dalam jeruji penjara, mulai dari periode kolonial, Jepang, orde lama hingga puncaknya pada masa orde baru. Dari pengalaman hidup yang pahit ini, proses kreatif Pramoedya dalam penulisan sastra terbentuk. Cerita-cerita yang ia tulis menampilkan sebuah ciri khas yang sangat melekat, yakni: lurus, serius, dan dengan gaya naratif.

Cerita yang ditulis Pramoedya sering kali memaparkan realita sejarah dari sudut pandang yang unik, banyak pemikirannya melebur dalam karya sastra realisme sosial yang ia tulis.

Latar belakang Pramoedya membuatnya menjadi satu dari sedikit pengarang Indonesia yang aktif dalam menulis roman yang sangat panjang.  Keahliannya dalam menulis sastra, diakui oleh banyak penulis mulai dari H.B. Jassin, Idrus, Balfas, Asrul Sani dan Chairil.

Perseteruan pram dengan kelompok kebudayaan diawali saat terbitnya “Surat Kepertjajan Gelanggang” di  jurnal Siasat yang diberi tajuk “Gelanggang” pada tanggal 22 oktober 1950.

Surat ini diterbitkan oleh kelompok Gelanggang Seniman Merdeka pada tahun 1947, oleh tokoh-tokoh sekelas Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, dan banyak beberapa sastrawan dan seniman angkatan 45’.

Dalam surat ini memberikan informasi, sebagai pewaris budaya dunia, para penulis akan mempromosikan sifat universal kemanusiaan dan bukan kecenderungan-kecenderungan budaya tertentu yang terbatas hanya pada satu bangsa.

Sikap ini kemudian dikenal dengan istilah “humanisme universal”. Terbitnya Surat Kepertjajan Gelanggang” menandai prahara panjang kebudayaan bangsa Indonesia baru, mengingat pengaruhnya yang begitu kuat.

Tokoh yang menyaksikan penerbitan surat ini pada tahun-tahun berikutnya berselisih paham karena pengaruh ideologi sosial politik (Surat Kepertjajan Gelanggang, 18 Februari 1950).

Sebagai seorang sastrawan yang tergabung dalam Lekra, Pramoedya tak lepas dari penangkapan sebagai seorang tapol. Tanggal 13 oktober 1965, rumahnya dikepung dan dilempari batu oleh sekelompok pemuda bertopeng. Kemudian ia diculik oleh tim tentara dan polisi disertai penghinaan dan pemukulan, antara lain dengan gagang tommygun (Eka Kurniawan, 2002:35).

Kajian Kesusastraan Indonesia

Prof. A. Teeuw adalah orang pertama yang memprakarsai disiplin ilmu ini, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, yang diterbitkan tahun 1952 (Teeuw,1952) menjadi rujukan untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pendekatan kritis terhadap sastra Indonesia modern. Buku ini mengalami penyempurnaan di tahun 1967 dan terbit dalam terjemahan bahasa Inggris  dengan judul Modern Indonesian Literature.

Sebagai generasi pertama karya-karya awal sarjana asing yang menulis tentang perkembangan sastra di Indonesia, pendapat A. Teeuw banyak dijadikan rujukkan untuk menilai karya penulis sastra Indonesia modern, pendekatan A. Teeuw terhadap estetika karya sastra banyak dipakai hingga sekarang.

Generasi yang lebih baru dari A. Teeuw, Prof. A.H. Johns, secara tidak langsung mempraktek apa yang disebut sebagai pendekatan kritis terhadap sastra Indonesia modern karena mencoba untuk mengaitkan sastra Indonesia modern dengan kajian Indonesia secara umum.

Menurut Johns nilai novel-novel Indonesia sebagai sumber penggambaran dan kritik masyarakat Indonesia (Johns,1959). Di tahun berikutnya Prof. A.H. Johns banyak menulis kritik sastra kepada banyak penulis di Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer (Johns, 1963) penyair Chairil Anwar (Johns, 1964) dan Sitor Situmorang (Johns, 1966).

Banyaknya sarjana asing yang menulis tentang perkembangan sastra Indonesia modern membuat kegiatan penerjemahan karya-karya sastra Indonesia juga semakin sering dilakukan, sebut saja nama-nama seperti Prof. J.M. Echols, B. Raffel, dan H. Aveling. Secara khusus H. Aveling banyak menerjemahkan karya terkenal Pramoedya Ananta Toer.

Kritikus sastra dan sarjana akademik di Indonesia juga melakukan berbagai upaya demikian dibidang masing-masing, sebut saja seorang kritikus-akademisi Indonesia Boen Sri Oemaryati yang banyak menerjemahkan puisi-puisi karya Chairil Anwar. Ada juga H.B. Jassin yang dijuluki “Paus Sastra Indonesia” banyak mengumpulkan dan mengomentari karya sastra yang dibuat dari masa pra-kolonial hingga akhir 1950-an, kumpulan tulisan ini diterbitkan dalam empat jilid buku berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dan Kritik dan Essasy (Jassin,1967).

Banyak dari tulisan yang diproduksi H.B. Jassin dikumpulkan secara individu, mengingat posisinya yang sangat strategis yaitu anggota dewan redaksi penerbitan (Balai Pustaka, Gunung Agung, Nusantara) dan Jurnal (Mimbar Indonesia dan Kisah). H.B. Jasssin menjadi kritikus tunggal yang nyaris tidak memiliki lawan sezaman, sebagai salah satu pelopor pandangan sastra “humanis universal” posisinya benar-benar di puncak hirarki pendekatan kritis terhadap sastra Indonesia Modern.


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama