Ramalan Jayabaya bukan karangan Prabu Jayabaya?


Kuno - Masyarakat Indonesia umumnya sangat kenal dengan Jangka Jayabaya atau yang sering disebut sebagai ramalan Jayabaya, hal ini berbanding lurus dengan keinginan masyarakat Indonesia khususnya orang jawa yang mendambakan sesosok pemimpin yang sangat adil. Minardi (2017) mengemukakan bahwa sosok pemimpin tersebut dikenal dengan istilah ‘Ratu Adil’ atau beberapa yang menyebutkan sebagai ‘Satrio Piningit’. Maka dari itu, Serat Jangka Jayabaya dipercayai memiliki peran dan pengaruh terhadap perjalanan kehidupan bangsa Indonesia meskipun masih diselimuti kontroversial di dalamnya. Walaupun bernama Ramalan Jayabaya, salah satu karya sastra yang berbentuk pengetahuan lokal ini tidak datang langsung dari Prabu Jayabaya yang berasal dari Kadiri, malahan karya tulis ini baru digubah di masa yang sangat jauh.


Moh. Hari Suwarno (1983) menjelaskan bahwa ramalan Jayabaya bersumber dari sebuah kitab yang ditulis oleh Sunan Giri III atau Sunan Giri Prapen pada tahun 1618 Masehi, yakni Kitab Musasar. Serat Jangka Jayabaya tertua dan otentik yaitu karangan Pangeran Wijil I atau yang dikenal dengan Pangeran Kadilangu II yang dikarang pada tahun 1741-1743 Masehi. Terlepas dari itu, pada masa pemeritahan Prabu Jayabhaya kesustraan mulai berkembang, karya-karya yang digunakan untuk menunjukkan kekuatan seorang penguasa dengan unsur-unsur kekuatan supranatural sehingga memperkuat kedudukannya sebagai seorang raja. Pada masa Jayabhaya dan masa-masa selanjutnya para raja membuat kitab-kitab yang berisi narasi-narasi yang mengandung sanjungan pada raja tersebut.


Raja Jayabhaya hadir bukan tanpa sebuah karya momumental, dimana ia menggubah Kakawin Bharatayuddha pada tahun 1079 saka sebagai pengambaran dari peritiwa yang terjadi pada masa itu juga, yakni peristiwa perebutan tahta. Menjadi pengetahuan umum bahwa dalam versi original peristiwa ini adalah peristiwa pertempuran antara Pandawa dan Kurawa. Secara tidak langsung Mpu Sedah mengumpamakan sebuah realita yang terjadi pada masa Raja Jayabhaya, dalam hal ini para Kurawa adalah pengambaran dari pewaris keturunan yang tua memperoleh wilayah di pusat kerajaan, dalam hal ini diartikan sebagai putra mahkota yang sah. Kemudian Pandawa yang merupakan keturunan dari garis yang muda dengan pusat kerajaan di hutan, dalam hal ini pengambaran dari keadaan Panjalu. Secara garis besar Kakawin Bharatayuddha bisa diartikan sebagai peristiwa perebutan kekuasaan yang di lakukan Raja Jayabhaya terhadap putra mahkota saat itu.


Adapun Kakawin Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh sebagai salah satu ramalan-ramalan yang diyakini berasal dari Raja Jayabhaya—ada kemungkinan bahwa salah satu dari sumber penulisan Jangka Jayabhaya adalah dari Kakawin Hariwangsa ini—karena secara khusus sang raja meminta dituliskan sebuah kakawin yang berdasarkan keinginanya. Dalam kakawin Hariwangsa, sang pujangga Mpu Panuluh mungkin terpengaruh oleh pertimbangan bahwa sebuah cerita mengenai Wisnu sangat sesuai, karena raja Jayabaya merupakan rainkarnasi Wisnu (Supratikno Rahardjo, 2011: 285).


Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya penulis melihat jelas bahwa ada realita-realita yang hadir dibalik tulisan-tulisan yang digubah atas perintah raja, gagasan Realisme Magis ini menjadi sumber sejarah yang menyimpan peristiwa-peristiwa nyata namun dibungkus dengan cerita-cerita yang terkesan tidak masuk akal. Sejarah bukanlah cerita, namun batasan antara cerita dan sejarah sangat tipis dan nyaris sulit dibedakan khususnya pada periode zaman kuno Indonesia, analisa menggunakan gagasan Realisme Magis menjadi alternatif pencarian peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Raja Jayabhya (Ian Muhtarom)


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama