Candi Kidal dan cerita Garudeya



Kuno - Candi Kidal menjadi salah satu situs yang ikonik di wilayah Malang Raya, sebuah bukti kemegahan arsitektur masa Kerajaan Singasari yang berdiri tegak sebagai salah satu kearifan lokal dan bukti sejarah yang masih ada sampai sekarang.    

 

Pada tahun 1227-1248 M Candi Kidal dibangun sebagai tempat pendarmaan salah satu raja Singasari yakni Anusapati, yang dibunuh Tohjaya anak dari Ken Angrok yang lahir melalui rahim Ken Umang. Cerita perebutan kekuasaan singgasana Kerajaan Singasari selalu diliputi tragedi pembunuhan antara garis keturunan yang satu dengan garis keturunan yang lain, legenda keris Mpu Gandri menjadi legenda yang mansyur, sebuah kutukan yang menjadi penyebab kematian keturunan Rajasa.

           

Jika kita membicarakan tentang Ken Angrok, Singasari, dan tragedi-tragedinya tentu tulisan ini akan menjadi sebuah tulisan yang panjang dan membosankan—terlepas dari banyaknya versi sejarah yang beredar Kerajaan Singasari menjadi sebuah imperium dengan sejarah yang dituturkan dengan berbagai macam media, tidak heran banyak sekali tinggalan kerajaan ini mulai dari kitab, pusaka, arca, dan candi. Pada tahun 1926 M, B. de Haan dan J.F.G. Brumund melaporkan temuan sebuah candi yang berada di desa Rejokidal sebagai sebuah candi yang bercorak Hindu. Candi Kidal bersifat agama Hindu-Siwa karena di ruangan candi (garbhagrha) dahulunya terdapat arca Siwa Mahadewa yang sekarang disimpan di Royal Tropical Institute di Amsterdam (Sedyawati, 2014).

           

Candi Kidal dikenal oleh hampir seluruh masyarakat di wilayah Tumpang dan sekitarnya, namun mungkin hanya sebagian yang mengerti kenapa candi ini dinamakan demikian. Berbeda dengan kebanyakan candi yang dibaca dengan cara “mengkanankan candi” pembacaan relief Candi Kidal dilakukan dengan cara “mengkirikan candi” teknik ini sering disebut sebagai pembacaan relief candi secara pradiksina. Jika diperhatikan lebih cermat ada suatu yang menarik di dinding-dinding candi, pada sisi utara, timur, dan selatan bagian dinding candi terukir masing-masing sebuah fragmen yang mengambarkan cerita Garudeya. Adanya fragmen ini menunjukkan sebuah kearifan lokal zaman dulu dimana bagunan candi dijadikan sebagai sebuah media untuk menuliskan karya sastra jawa kuno—yang dalam hal ini Candi Kidal terukir kisah Garudeya yang terdapat dalam Parwa I Mahabharata (Adiparwa).

           

Garudeya Candi Kidal. Credit: Kumparan


Kisah Garudeya adalah kisah yang menarik tentang arti sebuah perjuangan merebut kebebasan. Singkat cerita Garudeya dan Winata—ibu Garudeya— menjadi budak karena akal bulus sang ibu tiri, Kadru. Dalam sebuah taruhan Winata kalah karena salah menebak warna kuda Uchaiswara yang keluar dari samodra susu, sebenarnya tebakan Winata benar namun karena ulah dari 100 anak kadru—yaitu para ular yang menyemburkan bisanya secara bersamaan sehingga ekor kuda yang semula putih berubah menjadi hitam.

           

Sesuai isi perjanjian Garudeya dan ibunya menjadi budak dari Kadru dan anak-anaknya, sebagai budak Garudeya dipaksa untuk melayani 100 ular anak dari Kadru yang licik, sementara itu Winata disiksa dan diperbudak oleh Kadru dengan semena-mena. Karena tidak tega dengan perbudakkan yang di alami sang ibu, Garudeya berjuang mati-matian untuk mencari tirtha Amreta—air keabadiaan— yang merupakan sari dari samodra susu sebagai ‘penebus’ dari perbudakannya.

           

Kisah ini menunjukkan perjuangan Garudeya demi sebuah kebebasan, ia rela berjuang mati-matian melawan para dewa, bahkan pada akhir cerita Garudeya harus berhadapan dengan Dewa Wisnu yang mengamankan Amreta, melihat kegigihan Garudeya Dewa Wisnu pun setuju untuk meminjamkan Amreta dengan syarat Garudeya harus mau menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Cerita ini ditutup dengan Garudeya yang berhasil mengendong ibunya keluar dari kediaman Kadru yang licik, kecintaanya pada sang ibu membuat Garudeya berjuang mati-matian untuk membebaskan Winata dari perbudakan Kadru, bentuk dari sebuah bakti anak pada orang tuanya.

           

Cerita dalam fragmen yang terukir di dinding candi kidal bisa terbilang sangat sederhana, secara berturut-turut terukir fragmen cerita Garudeya menggendong ibunya sang Winata (utara), Garudeya membawa guci Amreta (timur), Garudeya dengan ular naga (selatan) (Sedyawati, 2010). Walaupun hanya diukir dalam tiga panil namun makna dalam cerita ini sangat dalam dan sangat relevan dengan situasi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. (Ian Muhtarom)

 

Sumber Rujukan

Aris Munandar, Agus, 2004, Karya Sastra Jawa Kuno Yang Diabadikan Pada Relief, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama